RUANG
Konsep "Ruang" menurut pandangan barat, berbeda dengan pandangan Jawa. Barat melihat konsep ruang sebagai sesuatu yang bersifat materi, yang bisa diukur secara pasti; mulai dari panjang, lebar, tinggi hingga kedalamannya.
Sementara Jawa, melihat Ruang secara lebih kompleks. Ia (ruang) adalah pertautan antara yang bersifat materi dan immateri (adikodrati) dalam tatanan jagad alam semesta, yang terdiri atas mikro kosmos (jagad cilik) dan makro kosmos (jagad gedhe).
Dari sini dapat diartikan, ketika terjadi suatu peristiwa (eksistensi dunia materi), maka peristiwa ini tidak muncul dengan sendirinya karena ada sebab akibat yg bersifat materi, namun karena ada campur tangan dari eksistensi 'yang' bersifat adikodrati (transeden).
Oleh karena itu, pandangan Jawa menekankan pada manusia agar selalu menjaga keseimbangan jagad alam semesta, yang terdiri atas makrokosmos dan mikrokosmos, yang terbentuk dari satu kesatuan 'numinus' antara yang bersifat materi dan adikodrati (immateri).
Ketika ada manusia yang mengganggu hukum keseimbangan-keselarasan tersebut, maka secara kosmos, ini akan membahayakan dirinya sendiri, keluarganya, orang lain hingga masyarakatnya (karma). Makanya ada falsafah hidup Jawa yang berbunyi; "Memayu hayuning bawono, ambrastho dhur angkoro", yang kurang lebih artinya, "manusia hidup di dunia harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan; serta memberantas sifat angkara murka, sifat keserakahan dan ketamakan".
Jika saat ini banyak peristiwa bencana yang belakangan ini marak terjadi di mana-mana, di berbagai tempat, maka bisa jadi ini karena terganggunya keseimbangan-keselarasan alam.
Pandangan Jawa terkait "Ruang", meski terdapat perbedaan, namun banyak memiliki sisi kesamaan dengan paradigma ekosentrisme dalam teori atau etika lingkungan. Dalam pandangan ekosentrisme, manusia bukanlah sebagai pusat ataupun perhatian utama dari semua yang ada di alam semesta. Manusia sejajar dengan mahluk hidup lain yang juga memiliki hak atas lingkungan hidupnya.
Paradigma ini berbeda dengan pandangan antroposentrisme, yang memandang manusia sebagai pusat alam semesta. Manusia memiliki otoritas untuk mengelola alam untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.
Paradigma antroposentrisme ini dianggap sebagai 'biang kerok' penyebab kerusakan alam yang sangat parah, sehingga menimbulkan krisis lingkungan, membawa dampak terjadinya krisis iklim dan bencana ekologi.
Nah, bagaimana jika pembacaan tentang tata ruang dan kebencanaan ini dilihat dari berbagai perspektif, seperti perspektif budaya (kearifan lokal) sosial ekonomi, politik kebijakan dan lain sebagainya. Tentu bakal menarik, bukan?
Salam, untuk secangkir kopi pahit dengan segala ceritanya!
Kreator : Aw Saiful huda, SE.,