Ticker

6/recent/ticker-posts

Teori Konservasi Konsep Budaya

 


KONSEP BUDAYA

Tata Wayah, Wilayah, dan Lampah (waktu, tempat, laku)

Dalam konteks peradaban, kehidupan manusia di bumi ini sudah berjalan begitu lama, masing-masing kebudayaan yang hidup di geografi yang berbeda-beda melakukan penyesuaian, mempelajari laku dan perilaku alam, sehingga menciptakan pola hidup yang khas berdasarkan iklim, geografi, dan keadaan alam secara umum. Karena itu, urusan bagaimana manusia memperlakukan, memanfaatkan, merespon dan merawat alam bukanlah persoalan baru. Dalam konteks Indonesia, setiap masyarakat di tanah Nusantara memiliki konsepsi masing-masing dalam memperlakukan dan merespon alam, dari Papua di ujung timur Nusantara, Baduy di ujung barat pulau Jawa, Kalimantan, hingga Aceh di ujung barat Nusantara. Konsep dan cara-cara bagaimana masyarakat memperlakukan alam secara khas, dikenal secara populer hari ini sebagai indigenious atau “kearifan lokal”. Kearifan lokal adalah pengetahuan lokal/tradisional/adat yang dipraktikkan dan berfungsi efektif dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan kekhasan kebudayaan dan keadaan alam di tempat pengetahuan tersebut hidup. Sebagai contoh, beberapa pandangan modern barangkali menilai rumah panggung masyarakat Sunda sebagai rumah “yang ketinggalan zaman”, padahal bentuk dan konsep rumah panggung merupakan salah satu bentuk ekspresi dan respon masyarakat Sunda terhadap lingkungan alamnya.

Belakangan pengetahuan modern mendapati kenyataan ternyata rumah panggung merupakan rumah yang efektif dalam menghadapi gempa bumi, misalnya. Gempa bumi itu sendiri merupakan peristiwa alam yang sudah lama dialami dan dihadapi masyarakat Nusantara, sehingga rumah panggung bisa jadi merupakan bentuk respon kultural masyarakat terhadap peristiwa alam. Pada titik itu, rumah panggung dengan pengetahuan dan konsepsi di dalamnya merupakan salah satu ekspresi dari “kearifan lokal” itu sendiri dalam merespon alam. Pertanyaannya, bagaimana dengan konsep memperlakukan alam secara keseluruhan, terkait pewilahan kawasan hutan dan gunung-gunung? Apakah masyarakat Nusantara lama memiliki konsep yang hari ini kita sebut sebagai konservasi? Jawabannya tentu ada, dan bahkan pengetahuan lokal jauh lebih efektif dan efisien dalam praktik memperlakukan dan merespon alam.

Beberapa contoh bagaimana masyarakat Nusantara memperlakukan alamnya dengan arif dan bijaksana yang dianggap “konservatif” berdasarkan kategori mutakhir, bisa ditemukan di hampir setiap penjuru Nusantara. Berdasarkan catatan Sartini (2004) kekhasan masyarakat tradisional di Indonesia yang secara turun-temurun memperlakukan alam secara kultural, di antaranya;

1)     Papua, di mana di sana terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Hal ini juga berlaku bagi masyarakat yang mengekspresikan cara hidupnya melalui bentuk rumah di setiap sudut Nusantara yang memiliki kekhasan, di mana tidak jarang pemahaman ‘modern’ menganggap bentuk rumah tradisional sebagai bentuk yang ketinggalan zaman, padahal setiap kekhasan rumah masyarakat tradisi di Nusantara memiliki fungsi khasnya sendiri, seperti Honai hingga rumah pohon Korowae yang merupakan respon kultural masyarakat terhadap geografi dan ekosistem setempat. Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara hati-hati.

2)     Serawai, Bengkulu, dengan keyakinan terhadap celako kumali. Kelestarian lingkungan terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan tradisi tanam tanjak.

3)     Dayak Kenyah di Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‘ulen. Kawasan hutan dikuasai dan menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh aturan adat secara arif dan bijaksana. Rasanya, melihat bagaimana masyarakat adat melakukan pengelolaan tidak pernah terdengar dampak masif yang menyebabkan bencana, hal ini bisa digarisbawahi bahwa kepentingan adat tidak pernah dilandasi atas keperluan kapital yang berlebihan dalam memanfaatkan alam. Kemudian

4)     Masyarakat Undau Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.

5)     Masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hatihati. Tidak diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat. Kemudian

6)     Bali dan Lombok, masyarakat mempunyai awig-awig (Sartini, 2004). Pada dasarnya, setiap kearifan lokal masyarakat Nusantara dalam memperlakukan alam masuk pada dimensi etis, konsep ruang, waktu, dan perilaku, menjadi konsepsi umum yang selalu ditemukan di dalamnya.

 

Tata Wayah (Waktu)

“Tata wayah” adalah landasan etis dalam memperlakukan alam dengan menggunakan dimensi “waktu” sebagai pegangan. Tata wayah mengatur kapan suatu tempat/ruang/alam/lingkungan dapat diperlakukan secara langsung untuk dimanfaatkan, kapan sama sekali tidak boleh dimanfaatkan langsung. Aturan waktu ini memuat ketepatan efektivitas pemanfaatan hingga mengatur kapan suatu tempat atau sebuah perlakuan terhadap alam benar-benar dilarang. Bentuk tata waktu dalam masyarakat Sunda bisa ditemui dalam konsep kala sunda, dan wariga di Bali (Sobirin, 2008). Sementara itu pada kebudayaan Jawa dikenal dengan istilah “pranoto mongso” yang merupakan aturan waktu musim yang digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian (Suhartini, 2009). Selain diterapkan melalui praktik musim, dimensi waktu dalam etika lingkungan juga berkaitan dengan sebuah kawasan, leuweung gede atau hutan larang pada kebudayaan masyarakat Baduy yang hanya bisa dikunjungi oleh tokoh utama masyarakat adat pun tidak bisa dikunjungi sembarangan waktu. Kawasan yang di dalamnya terdapat Arca Domas yang sangat dikeramatkan ini hanya boleh dikunjungi setahun sekali, ketika pun Cikeusik dan puun Cibeo ditemani oleh rombongan yang terdiri dari Orang Baduy Dalam dan Baduy Luar yang telah mendapat izin puun pergi berziarah, di mana dalam konteks waktu biasanya dilakukan pada bulan kalima dalam kalender Baduy (Iskandar, 2012). Tata wayah merupakan bentuk etika lingkungan yang dimiliki alam secara otonom berkaitan dengan haknya terhadap waktu. Dalam kehidupan masa kini, contoh paling sederhana bisa kita temukan dalam penerapan aturan pelarangan kunjungan terhadap sebuah kawasan untuk kepentingan pemulihan ekosistem, berkaitan dengan musim reproduksi satwa (serta flora dan fauna) tertentu. Bahkan di beberapa negara maju, aturan waktu yang membatasi pemanfaatan manusia terhadap alam bisa ditemukan berupa larangan berburu pada musim tertentu, meski pun subjek satwa yang menjadi buruan dianggap “hama” dalam batas tertentu. Pemimpin adat masyarakat Baduy

 

Tata Wilayah (Ruang/Tempat)

Jika “tata wayah” menjadikan waktu sebagai landasan etis manusia dalam memperlakukan alam, tata wilayah menjadikan ruang sebagai dimensi etis-nya, namun demikian, ruang dan waktu selalu berkaitan, bersifat resiprokal atau “saling” di mana waktu dengan sendirinya berlaku pada aturan yang diterapkan pada sebuah ruang, begitu pun sebaliknya. Dalam masyarakat Sunda, pembagian wilayah dikenal dalam batas yang bersifat makro (besar) seperti bentuk (morfologi) bumi, misalnya; gunung, danau, sungai, dan bentuk alam besar lainnya. Juga dikenal dalam batasan mikro, seperti bagian-bagian (anatomi) dari gunung yang lebih spesifik. Terdapat istilah popular dalam masyarakat Sunda terkait bagaimana memperlakukan atau mempraktikkan “tata wilayah”, salah satunya melalui ungkapan: “gunung ditanami pepohonan, tebing ditanami bambu, tanah kosong dijadikan kebun, bukit untuk wanatani, dataran untuk sawah, mata air dipelihara, sungai dirawat” (Sobirin, 2008) Selain itu, secara makro khususnya pembagian kategori kehutanan dikenal beberapa konsepsi seperti konsep “larang” dan “garapan”. Secara umum pewilahan tersebut dibagi menjadi tiga bagian, di antaranya: leuweung titipan, leuweung tutupan, dan leuweung garapan.

Leuweung Garapan Leuweung garapan merupakan kawasan (hutan) yang dalam konsepsi masyarakat adat diperbolehkan untuk dimanfaatkan secara langsung, khususnya untuk digunakan sebagai tanah garapan untuk bercocok tanam. Kurang-lebih leuweung garapan relatif sama dengan kawasan produksi dalam pembagian umum masyarakat non-adat. Namun, tentu saja selain konsep pembagian kawasan, masyarakat adat juga memiliki konsep dan aturan terkait tatacara dalam menggarap suatu kawasan. Artinya, meskipun suatu kawasan digarap untuk dimanfaatkan langsung, di dalamnya terdapat aturan-aturan lainnya yang juga harus dipatuhi. Dalam batas tertentu, hutan garapan pada masyarakat Baduy bisanya dimanfaatkan dengan konsep huma. Leuweung Tutupan Beberapa literatur mendefinisikan konsep leuweung tutupan sebagai kawasan hutan cadangan, yang dalam kondisi tertentu (mendesak) bisa dibuka untuk digarap. Selain itu, leuweung tutupan juga bisa berarti kawasan hutan yang menjadi benteng “penutup” kawasan larang. Sebagaimana namanya, “tutupan” dalam bahasa Indonesia kurang lebih memiliki arti “yang menjadi penutup atau yang menutupi”. Di dalam kawasan leuweung tutupan biasanya sudah mulai bisa dikenal dan hidup aturan-aturan yang diekspresikan melalui cerita-cerita lokal, seperti konsep “pamali” berupa larangan-larangan tertentu terkait sikap manusia terhadap alam. Kawasan leuweung tutupan bisa dimanfaatkan secara terbatas oleh masyarakat, khususnya pemanfaatan hasil hutan non-tegakan, artinya hasil hutan seperti madu, daun pisang, lember, dan sejenisnya di luar pemanfaatan kayu tegakan, masih bisa dilakukan. Apabila terpaksa harus memanfaatkan kayu dari pohon tegakan, masyarakat diwajibkan untuk menanam pohon pengganti sebelum diperbolehkan melakukan penebangan. Salah satu bentuk hutan tutupan yang berada di antara wilayah garapan, dan sekaligus yang menjadi penutup atau perlindungan terhadap kawasan larang yang tidak bisa dimanfaatkan terdapat lahan dengan nama reuma. Reuma adalah lahan hutan sekunder bekas ladang yang sedang diberakan (diistirahatkan) dengan mangalami suksesi alami membentuk hutan sekunder tua. (Iskandar, 2012) Leuweung Titipan (Larang) Terakhir “leuweung titipan”, kawasan yang dalam pembagian kawasan adat menjadi ‘kasta’ tertinggi di antara kawasan lainnya. Kawasan leuweung titipan merupakan kawasan sakral, “keramat”, dan dihormati secara kolektif oleh masyarakat. Pada masyarakat Baduy, leuweung titipan dikenal juga dengan istilah “leuweung gede” (Iskandar, 2012) Leuweung titipan adalah hutan yang dalam konsep masyarakat Sunda merupakan konsep hutan yang dipercaya secara khusus dititipkan langsung oleh gusti anu kawasa (tuhan) kepada manusia, untuk kepentingan seluruh mahluk, tidak semata untuk manusia. Leuweung titipan merupakan hutan “larang” yang oleh Rosidi (2000:381-382) diterjemahkan sebagai hutan yang sama sekali tidak boleh dikunjungi, dan dimasuki. Hutan larang tertutup bagi orang biasa; hanya orang yang luar biasa (memiliki kekuatan gaib dan kesaktian, pemimpin adat) yang dapat masuk ke dalamnya. Di dalam hutan larang biasanya dipercaya dihuni oleh makhluk di luar manusia, mahluk transenden, atau masyarakat mutakhir menyebutnya sebagai mahluk mitologis. (Rosidi, 2000) Konsep penetapan tiga kawasan di atas didasari atas beberapa pertimbangan, sebagaimana telah disampaikan di atas, secara umum pertimbangan paling sederhana yang digunakan untuk menetapkan suatu kawasan adalah pertimbangan morfologi/bentuk bumi seperti; gunung, keadaan hutan, dan tempat-tempat di dalamnya. Selain morfologi, juga terkait anatomi atau bagianbagian kecil (mikro) dari bentuk atau keadaan kawasan, biasanya disebut “palemahan”. Oleh Atja dan Saleh Danasasmita (1981) dicatat 19 jenis bentuk kawasan mikro yang dilarang untuk dimanfaatkan di antaranya:

1) sodong atau ceruk, lubang dangkal pada sisi bawah tebing karang atau sungai;

2) saronggé, tempat yang dianggap angker yang dihuni roh jahat;

3) cadas gantung, sebuah karang yang tergantung membentuk naungan;

4) mungkal pategang, sebuah lahan yang dikelilingi bongkahan karang;

5) lebah, ngarai yang terlindungi dari pandangan dan sinar matahari;

6) rancak, batu besar bercelah;

7) kebakan badak, lahan kubangan;

8) catang nunggang, batang kayu roboh dengan pangkal di bawah;

9) catang nonggéng, batang kayu roboh dengan batang pohon di atas;

10) garunggungan, tanah berbukit kecil;

11) garanggengan, tanah kering permukaannya tetapi di bawahnya berlumpur;

12) tanah sahar, tanah sangat [sick] seperti bekas tempat pembunuhan;

13) dangdang wariyan, kawasan genangan air,

14) hunyur, bukit kecil;

15) lemah laki atau tanah tandus;

16) pitunahan celeng tempat habitat babi;

17) kalomberan atau comberan;

18) jarian, tempat pembuangan sampah, dan;

19) sema atau kuburan (dalam Iskandar, 2012)

 

Tata Lampah (Laku)

Lampah dalam Bahasa Sunda diartikan sebagai polah atau perilaku (laku) manusia dalam menjalani hidup (Danadibrata, 2000). Sementara itu dalam Bahasa Indonesia "laku“ (perilaku) berarti perbuatan atau tindakan yang dilekatkan pada subjek manusia berupa tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Dengan kata lain “tata lampah” yang berkaitan dengan laku dalam hubungannya manusia memperlakukan alam adalah landasan etis yang mengatur bagaimana perilaku manusia dalam memperlakukan alam.

Tata Lampah mengatur bagaimana hubungan manusia yang didasari oleh waktu dan tempat yang hendak diperlakukan, latar belakang atau motivasi perlakuan manusia terhadap suatu tempat, dalam konteks kultural masyarakat nusantara, kedua landasan tersebut juga tidak bisa dipisahkan dengan ajaran leluhur diyakini secara turun temurun, sebut saja ajaran tersebut dalam bentuk agama yang hidup pada masyarakat adat. Jika dilihat dari contoh-tontoh bagaimana masyarakat adat Nusantara memperlakukan alam, dari Papua dengan te aro neweak lako-nya, Serawai - Bengkulu, dengan konsep celako kumali. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, dengan tana‘ulen, hingga kebudayaan masyarakat Bali dan Lombok, dengan awig-awig-nya, pada dasarnya manusia Nusantara memiliki konsep menjadikan manusia sebagai bagian dari alam di mana keseimbangan menjadi pola hidup utamanya.

Dengan tidak juga mengingkari catatan sejarah di beberapa kebudayaan masyarakat Nusantara, di mana ditemukan juga perilaku destruktif. Dari beberapa contoh kearifan budaya lokal dalam memperlakukan alam, awig-awig di Bali bisa menjadi contoh umum bagaimana tata laku manusia diatur sedemikian rupa, aturan ini mengacu pada batasan waktu dan tempat yang meliputi hubungan manusia dengan alam, manusia dengan tuhan, serta manusia dengan manusia itu sendiri. Awig-awig di Bali dan Lombok yang erat kaitannya dengan aturan desa adat di Bali ditata dengan konsep dasar Tri Hita Karana, suatu konsep yang sangat luhur yang di dalamnya terdapat nilai-nilai keharmonisan dalam rangka mencapai tujuan hidup manusia Hindu di Bali yaitu “Moksartam Jagatdita Ya Ca Iti Dharma” yang dapat diterjemahkan untuk mencapai kebahagian hidup sekala dan niskala. Dalam Tri Hita Karana dijelaskan Parhyangan yang mengatur hubungan manusia dengan Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, Pawongan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia itu sendiri dan Palemahan yang mengatur manusia dengan lingkungannya. (Rindawan, 2017) Ajaran yang menjadi keyakinan masyarakat itu pula yang dapat ditemukan pada masyarakat Sunda dengan konsep tritangtu-nya, “tri tangtu di buana” atau “pitutur tilu” di mana tata wayah (waktu), wilayah (tempat), dan lampah (laku) jadi salah satu turunannya. Dalam konteks laku, motivasi serta urgensi atau kepentingan manusia memperlakukan alam juga dalam hal ini menjadi batasan.

Contoh dalam masyarakat Sunda bisa dilihat dari kegiatan sekadar memasuki kawasan pun memiliki konsep laku, ketika memasuki kawasan sakral dan cenderung menjadikan alam (khususnya satwa) hanya sekadar objek untuk kepuasan manusia. Sebut saja misalnya tradisi rampogan di abad ke XVIII, tetapi dalam konteks tertentu tradisi “pembantaian” macan tersebut erat kaitannya dengan kolonialisme yang perlu dikaji lebih dalam. seperti leuweung gede atau kawasan larang pada masyarakat Baduy, hanya laku kepentingan ziarah saja yang diperbolehkan. Maka ziarah dalam konteks ini merupakan laku yang diperbolehkan, sebagai latar belakang tata lampah. Secara khusus, ilmu atau pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan kategori, klasifikasi, dan status suatu kawasan (larang/titipan, tutupan, dan garapan), serta pengetahuan mengenai bagaimana masyarakat Sunda lama memperlakukan alam dikenal dengan konsep “patanjala” atau konsep “gunung pangauban”.

Konsep ini merupakan konsep “autentik/asli” masyarakat Sunda dalam memperlakukan, merespon, memanfaatkan, dan menjaga alamnya. Konsep “patanjala” sendiri beberapa tahun belakangan ini, sejak awal tahun 2000-an sedang terus disosialisasikan dan dipraktikan oleh masyarakat di Jawa Barat di mana sosok tokoh bernama kang Rahmat Leuweung berperan central, baik sebagai pendamping dan sekaligus narasumber utamanya.



Sumber: Buku S A D A R K A W A S A N Kapan dan di Mana: Manusia Bebas, Berbatas, Hingga tak Punya Akses


raintemplates-t5

raintemplates-t5

Pulsa
Pascabayar
Electronic
Handphone & Tablet
Travel & Entertainment
Keuangan
Belanja
Tagihan & Top Up
Semua Kategori

Advertisement

Advertisement

Advertisement

Advertisement
AD Banner

EntertainmentMore

FashionMore

HeadlineMore

HeadlineMore

FoodMore

LifestyleMore

My Blog List

HeadlineMore

NamaLabel

+

Artikel Pilihan

Bolasport

Berita Utama

Teknology

Free Support & Update

Anda akan mendapatkan bantuan dari kami dan juga update template selamanya

WhatsApp Order

Pembelian lebih mudah, dengan menggunakan fiktur order form WhatsApp

Unlimeted Color

Warna template dapat Anda ubah secara otomatis tanpa perlu paham coding

Other News

[Related][recentmag]

Top Menu

Label

Category

HOME

  • BERITA
  • ADVETORIAL
  • SOSIAL

Tag Terpopuler

Hot News

[Hot News][recentmag]

Label Mobile

Kategori

NamaLabel


BangGo : Rendah kolesterol. Cocok untuk cemilan menyehatkan, penyedap & penambah selera makan.

Alamat Redaksi

Alamat Redaksi
Desa Ngraseh, Kecamatan Dander, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur - Indonesia.

Space Iklan

Space Iklan
Tersedia Pigura foto dengan ukuran castom, silahkan klik disini untuk pemesanan produk / tanya lebih lanjut tentang ketersediaan barang.

Copyright

Copyright 2018 TokoPedia Blogger v.1.8.5

Copyright Design

Design by rianseo.com
Live News

raintemplates-t2

Páginas

Populer Tahun ini

Populer Minggu ini

Populer Bulan ini

Kategori Berita

*Promo_3
*Promo_2
*Promo_1

MITRA POTENSI

MITRA POTENSI

Video TerpopulerMore

Artikel Pilihan


Space Iklan


Beli Kaos Sablon & desain terbaru dengan harga murah 2022 (Bisa Kastom Desain Sesuka Hati)

About Me

Foto Saya
Bojonegoro, jawa timur, Indonesia
Hidup ini perjuangan, selalu semangat dan tersenyum untuk menghadapi kehidupan ini.

Populer Tahun ini

Popular this week

Populer Bulan ini