KONSEP BUDAYA
Tata Wayah, Wilayah, dan Lampah
(waktu, tempat, laku)
Dalam
konteks peradaban, kehidupan manusia di bumi ini sudah berjalan begitu lama,
masing-masing kebudayaan yang hidup di geografi yang berbeda-beda melakukan penyesuaian,
mempelajari laku dan perilaku alam, sehingga menciptakan pola hidup yang khas
berdasarkan iklim, geografi, dan keadaan alam secara umum. Karena itu, urusan
bagaimana manusia memperlakukan, memanfaatkan, merespon dan merawat alam
bukanlah persoalan baru. Dalam konteks Indonesia, setiap masyarakat di tanah
Nusantara memiliki konsepsi masing-masing dalam memperlakukan dan merespon
alam, dari Papua di ujung timur Nusantara, Baduy di ujung barat pulau Jawa,
Kalimantan, hingga Aceh di ujung barat Nusantara. Konsep dan cara-cara
bagaimana masyarakat memperlakukan alam secara khas, dikenal secara populer
hari ini sebagai indigenious atau “kearifan lokal”. Kearifan lokal adalah
pengetahuan lokal/tradisional/adat yang dipraktikkan dan berfungsi efektif dalam
kehidupan sehari-hari berdasarkan kekhasan kebudayaan dan keadaan alam di
tempat pengetahuan tersebut hidup. Sebagai contoh, beberapa pandangan modern
barangkali menilai rumah panggung masyarakat Sunda sebagai rumah “yang
ketinggalan zaman”, padahal bentuk dan konsep rumah panggung merupakan salah
satu bentuk ekspresi dan respon masyarakat Sunda terhadap lingkungan alamnya.
Belakangan
pengetahuan modern mendapati kenyataan ternyata rumah panggung merupakan rumah
yang efektif dalam menghadapi gempa bumi, misalnya. Gempa bumi itu sendiri
merupakan peristiwa alam yang sudah lama dialami dan dihadapi masyarakat
Nusantara, sehingga rumah panggung bisa jadi merupakan bentuk respon kultural
masyarakat terhadap peristiwa alam. Pada titik itu, rumah panggung dengan
pengetahuan dan konsepsi di dalamnya merupakan salah satu ekspresi dari
“kearifan lokal” itu sendiri dalam merespon alam. Pertanyaannya, bagaimana
dengan konsep memperlakukan alam secara keseluruhan, terkait pewilahan kawasan
hutan dan gunung-gunung? Apakah masyarakat Nusantara lama memiliki konsep yang
hari ini kita sebut sebagai konservasi? Jawabannya tentu ada, dan bahkan
pengetahuan lokal jauh lebih efektif dan efisien dalam praktik memperlakukan
dan merespon alam.
Beberapa
contoh bagaimana masyarakat Nusantara memperlakukan alamnya dengan arif dan
bijaksana yang dianggap “konservatif” berdasarkan kategori mutakhir, bisa
ditemukan di hampir setiap penjuru Nusantara. Berdasarkan catatan Sartini
(2004) kekhasan masyarakat tradisional di Indonesia yang secara turun-temurun
memperlakukan alam secara kultural, di antaranya;
1)
Papua, di mana
di sana terdapat kepercayaan te aro neweak lako (alam adalah aku). Hal ini juga
berlaku bagi masyarakat yang mengekspresikan cara hidupnya melalui bentuk rumah
di setiap sudut Nusantara yang memiliki kekhasan, di mana tidak jarang
pemahaman ‘modern’ menganggap bentuk rumah tradisional sebagai bentuk yang
ketinggalan zaman, padahal setiap kekhasan rumah masyarakat tradisi di
Nusantara memiliki fungsi khasnya sendiri, seperti Honai hingga rumah pohon
Korowae yang merupakan respon kultural masyarakat terhadap geografi dan ekosistem
setempat. Gunung Erstberg dan Grasberg dipercaya sebagai kepala mama, tanah
dianggap sebagai bagian dari hidup manusia. Dengan demikian maka pemanfaatan
sumber daya alam dilakukan secara hati-hati.
2)
Serawai,
Bengkulu, dengan keyakinan terhadap celako kumali. Kelestarian lingkungan
terwujud dari kuatnya keyakinan ini yaitu tata nilai tabu dalam berladang dan
tradisi tanam tanjak.
3)
Dayak Kenyah di
Kalimantan Timur, terdapat tradisi tana‘ulen. Kawasan hutan dikuasai dan
menjadi milik masyarakat adat. Pengelolaan tanah diatur dan dilindungi oleh
aturan adat secara arif dan bijaksana. Rasanya, melihat bagaimana masyarakat
adat melakukan pengelolaan tidak pernah terdengar dampak masif yang menyebabkan
bencana, hal ini bisa digarisbawahi bahwa kepentingan adat tidak pernah
dilandasi atas keperluan kapital yang berlebihan dalam memanfaatkan alam.
Kemudian
4)
Masyarakat Undau
Mau, Kalimantan Barat. Masyarakat ini mengembangkan kearifan lingkungan dalam
pola penataan ruang pemukiman, dengan mengklasifikasi hutan dan
memanfaatkannya. Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menetapkan masa
bera, dan mereka mengenal tabu sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada
teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
5)
Masyarakat
Kasepuhan Pancer Pangawinan, Kampung Dukuh Jawa Barat. Mereka mengenal upacara
tradisional, mitos, tabu, sehingga pemanfaatan hutan hatihati. Tidak
diperbolehkan eksploitasi kecuali atas ijin sesepuh adat. Kemudian
6)
Bali dan Lombok,
masyarakat mempunyai awig-awig (Sartini, 2004). Pada dasarnya, setiap kearifan
lokal masyarakat Nusantara dalam memperlakukan alam masuk pada dimensi etis,
konsep ruang, waktu, dan perilaku, menjadi konsepsi umum yang selalu ditemukan
di dalamnya.
Tata Wayah (Waktu)
“Tata wayah” adalah landasan etis dalam
memperlakukan alam dengan menggunakan dimensi “waktu” sebagai pegangan. Tata
wayah mengatur kapan suatu tempat/ruang/alam/lingkungan dapat diperlakukan
secara langsung untuk dimanfaatkan, kapan sama sekali tidak boleh dimanfaatkan
langsung. Aturan waktu ini memuat ketepatan efektivitas pemanfaatan hingga
mengatur kapan suatu tempat atau sebuah perlakuan terhadap alam benar-benar
dilarang. Bentuk tata waktu dalam masyarakat Sunda bisa ditemui dalam konsep
kala sunda, dan wariga di Bali (Sobirin, 2008). Sementara itu pada kebudayaan
Jawa dikenal dengan istilah “pranoto mongso” yang merupakan aturan waktu musim
yang digunakan oleh para tani pedesaan yang didasarkan pada naluri dari leluhur
dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian (Suhartini, 2009). Selain
diterapkan melalui praktik musim, dimensi waktu dalam etika lingkungan juga
berkaitan dengan sebuah kawasan, leuweung gede atau hutan larang pada
kebudayaan masyarakat Baduy yang hanya bisa dikunjungi oleh tokoh utama
masyarakat adat pun tidak bisa dikunjungi sembarangan waktu. Kawasan yang di
dalamnya terdapat Arca Domas yang sangat dikeramatkan ini hanya boleh
dikunjungi setahun sekali, ketika pun Cikeusik dan puun Cibeo ditemani oleh
rombongan yang terdiri dari Orang Baduy Dalam dan Baduy Luar yang telah
mendapat izin puun pergi berziarah, di mana dalam konteks waktu biasanya
dilakukan pada bulan kalima dalam kalender Baduy (Iskandar, 2012). Tata wayah
merupakan bentuk etika lingkungan yang dimiliki alam secara otonom berkaitan
dengan haknya terhadap waktu. Dalam kehidupan masa kini, contoh paling
sederhana bisa kita temukan dalam penerapan aturan pelarangan kunjungan
terhadap sebuah kawasan untuk kepentingan pemulihan ekosistem, berkaitan dengan
musim reproduksi satwa (serta flora dan fauna) tertentu. Bahkan di beberapa
negara maju, aturan waktu yang membatasi pemanfaatan manusia terhadap alam bisa
ditemukan berupa larangan berburu pada musim tertentu, meski pun subjek satwa
yang menjadi buruan dianggap “hama” dalam batas tertentu. Pemimpin adat
masyarakat Baduy
Tata Wilayah (Ruang/Tempat)
Jika “tata wayah” menjadikan waktu sebagai landasan
etis manusia dalam memperlakukan alam, tata wilayah menjadikan ruang sebagai
dimensi etis-nya, namun demikian, ruang dan waktu selalu berkaitan, bersifat
resiprokal atau “saling” di mana waktu dengan sendirinya berlaku pada aturan
yang diterapkan pada sebuah ruang, begitu pun sebaliknya. Dalam masyarakat
Sunda, pembagian wilayah dikenal dalam batas yang bersifat makro (besar)
seperti bentuk (morfologi) bumi, misalnya; gunung, danau, sungai, dan bentuk
alam besar lainnya. Juga dikenal dalam batasan mikro, seperti bagian-bagian
(anatomi) dari gunung yang lebih spesifik. Terdapat istilah popular dalam
masyarakat Sunda terkait bagaimana memperlakukan atau mempraktikkan “tata
wilayah”, salah satunya melalui ungkapan: “gunung ditanami pepohonan, tebing
ditanami bambu, tanah kosong dijadikan kebun, bukit untuk wanatani, dataran
untuk sawah, mata air dipelihara, sungai dirawat” (Sobirin, 2008) Selain itu,
secara makro khususnya pembagian kategori kehutanan dikenal beberapa konsepsi
seperti konsep “larang” dan “garapan”. Secara umum pewilahan tersebut dibagi
menjadi tiga bagian, di antaranya: leuweung titipan, leuweung tutupan, dan
leuweung garapan.
Leuweung
Garapan Leuweung garapan merupakan kawasan (hutan) yang dalam konsepsi
masyarakat adat diperbolehkan untuk dimanfaatkan secara langsung, khususnya
untuk digunakan sebagai tanah garapan untuk bercocok tanam. Kurang-lebih
leuweung garapan relatif sama dengan kawasan produksi dalam pembagian umum
masyarakat non-adat. Namun, tentu saja selain konsep pembagian kawasan,
masyarakat adat juga memiliki konsep dan aturan terkait tatacara dalam
menggarap suatu kawasan. Artinya, meskipun suatu kawasan digarap untuk
dimanfaatkan langsung, di dalamnya terdapat aturan-aturan lainnya yang juga
harus dipatuhi. Dalam batas tertentu, hutan garapan pada masyarakat Baduy
bisanya dimanfaatkan dengan konsep huma. Leuweung Tutupan Beberapa literatur
mendefinisikan konsep leuweung tutupan sebagai kawasan hutan cadangan, yang
dalam kondisi tertentu (mendesak) bisa dibuka untuk digarap. Selain itu,
leuweung tutupan juga bisa berarti kawasan hutan yang menjadi benteng “penutup”
kawasan larang. Sebagaimana namanya, “tutupan” dalam bahasa Indonesia kurang
lebih memiliki arti “yang menjadi penutup atau yang menutupi”. Di dalam kawasan
leuweung tutupan biasanya sudah mulai bisa dikenal dan hidup aturan-aturan yang
diekspresikan melalui cerita-cerita lokal, seperti konsep “pamali” berupa
larangan-larangan tertentu terkait sikap manusia terhadap alam. Kawasan
leuweung tutupan bisa dimanfaatkan secara terbatas oleh masyarakat, khususnya
pemanfaatan hasil hutan non-tegakan, artinya hasil hutan seperti madu, daun
pisang, lember, dan sejenisnya di luar pemanfaatan kayu tegakan, masih bisa
dilakukan. Apabila terpaksa harus memanfaatkan kayu dari pohon tegakan,
masyarakat diwajibkan untuk menanam pohon pengganti sebelum diperbolehkan
melakukan penebangan. Salah satu bentuk hutan tutupan yang berada di antara
wilayah garapan, dan sekaligus yang menjadi penutup atau perlindungan terhadap
kawasan larang yang tidak bisa dimanfaatkan terdapat lahan dengan nama reuma.
Reuma adalah lahan hutan sekunder bekas ladang yang sedang diberakan
(diistirahatkan) dengan mangalami suksesi alami membentuk hutan sekunder tua.
(Iskandar, 2012) Leuweung Titipan (Larang) Terakhir “leuweung titipan”, kawasan
yang dalam pembagian kawasan adat menjadi ‘kasta’ tertinggi di antara kawasan
lainnya. Kawasan leuweung titipan merupakan kawasan sakral, “keramat”, dan
dihormati secara kolektif oleh masyarakat. Pada masyarakat Baduy, leuweung
titipan dikenal juga dengan istilah “leuweung gede” (Iskandar, 2012) Leuweung
titipan adalah hutan yang dalam konsep masyarakat Sunda merupakan konsep hutan
yang dipercaya secara khusus dititipkan langsung oleh gusti anu kawasa (tuhan)
kepada manusia, untuk kepentingan seluruh mahluk, tidak semata untuk manusia.
Leuweung titipan merupakan hutan “larang” yang oleh Rosidi (2000:381-382)
diterjemahkan sebagai hutan yang sama sekali tidak boleh dikunjungi, dan
dimasuki. Hutan larang tertutup bagi orang biasa; hanya orang yang luar biasa (memiliki
kekuatan gaib dan kesaktian, pemimpin adat) yang dapat masuk ke dalamnya. Di
dalam hutan larang biasanya dipercaya dihuni oleh makhluk di luar manusia,
mahluk transenden, atau masyarakat mutakhir menyebutnya sebagai mahluk
mitologis. (Rosidi, 2000) Konsep penetapan tiga kawasan di atas didasari atas
beberapa pertimbangan, sebagaimana telah disampaikan di atas, secara umum
pertimbangan paling sederhana yang digunakan untuk menetapkan suatu kawasan
adalah pertimbangan morfologi/bentuk bumi seperti; gunung, keadaan hutan, dan
tempat-tempat di dalamnya. Selain morfologi, juga terkait anatomi atau
bagianbagian kecil (mikro) dari bentuk atau keadaan kawasan, biasanya disebut
“palemahan”. Oleh Atja dan Saleh Danasasmita (1981) dicatat 19 jenis bentuk kawasan
mikro yang dilarang untuk dimanfaatkan di antaranya:
1)
sodong atau ceruk, lubang dangkal pada sisi bawah tebing karang atau sungai;
2)
saronggé, tempat yang dianggap angker yang dihuni roh jahat;
3)
cadas gantung, sebuah karang yang tergantung membentuk naungan;
4)
mungkal pategang, sebuah lahan yang dikelilingi bongkahan karang;
5)
lebah, ngarai yang terlindungi dari pandangan dan sinar matahari;
6)
rancak, batu besar bercelah;
7)
kebakan badak, lahan kubangan;
8)
catang nunggang, batang kayu roboh dengan pangkal di bawah;
9)
catang nonggéng, batang kayu roboh dengan batang pohon di atas;
10)
garunggungan, tanah berbukit kecil;
11)
garanggengan, tanah kering permukaannya tetapi di bawahnya berlumpur;
12)
tanah sahar, tanah sangat [sick] seperti bekas tempat pembunuhan;
13)
dangdang wariyan, kawasan genangan air,
14)
hunyur, bukit kecil;
15)
lemah laki atau tanah tandus;
16)
pitunahan celeng tempat habitat babi;
17)
kalomberan atau comberan;
18)
jarian, tempat pembuangan sampah, dan;
19)
sema atau kuburan (dalam Iskandar, 2012)
Tata Lampah (Laku)
Lampah
dalam Bahasa Sunda diartikan sebagai polah atau perilaku (laku) manusia dalam
menjalani hidup (Danadibrata, 2000). Sementara itu dalam Bahasa Indonesia
"laku“ (perilaku) berarti perbuatan atau tindakan yang dilekatkan pada
subjek manusia berupa tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan. Dengan kata lain “tata lampah” yang berkaitan dengan laku dalam
hubungannya manusia memperlakukan alam adalah landasan etis yang mengatur bagaimana
perilaku manusia dalam memperlakukan alam.
Tata Lampah mengatur bagaimana hubungan manusia yang didasari oleh waktu dan tempat yang hendak diperlakukan, latar belakang atau motivasi perlakuan manusia terhadap suatu tempat, dalam konteks kultural masyarakat nusantara, kedua landasan tersebut juga tidak bisa dipisahkan dengan ajaran leluhur diyakini secara turun temurun, sebut saja ajaran tersebut dalam bentuk agama yang hidup pada masyarakat adat. Jika dilihat dari contoh-tontoh bagaimana masyarakat adat Nusantara memperlakukan alam, dari Papua dengan te aro neweak lako-nya, Serawai - Bengkulu, dengan konsep celako kumali. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, dengan tana‘ulen, hingga kebudayaan masyarakat Bali dan Lombok, dengan awig-awig-nya, pada dasarnya manusia Nusantara memiliki konsep menjadikan manusia sebagai bagian dari alam di mana keseimbangan menjadi pola hidup utamanya.
Dengan
tidak juga mengingkari catatan sejarah di beberapa kebudayaan masyarakat
Nusantara, di mana ditemukan juga perilaku destruktif. Dari beberapa contoh
kearifan budaya lokal dalam memperlakukan alam, awig-awig di Bali bisa menjadi
contoh umum bagaimana tata laku manusia diatur sedemikian rupa, aturan ini
mengacu pada batasan waktu dan tempat yang meliputi hubungan manusia dengan
alam, manusia dengan tuhan, serta manusia dengan manusia itu sendiri. Awig-awig
di Bali dan Lombok yang erat kaitannya dengan aturan desa adat di Bali ditata
dengan konsep dasar Tri Hita Karana, suatu konsep yang sangat luhur yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai keharmonisan dalam rangka mencapai tujuan hidup manusia
Hindu di Bali yaitu “Moksartam Jagatdita Ya Ca Iti Dharma” yang dapat
diterjemahkan untuk mencapai kebahagian hidup sekala dan niskala. Dalam Tri
Hita Karana dijelaskan Parhyangan yang mengatur hubungan manusia dengan Hyang
Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, Pawongan yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia itu sendiri dan Palemahan yang mengatur manusia dengan lingkungannya.
(Rindawan, 2017) Ajaran yang menjadi keyakinan masyarakat itu pula yang dapat
ditemukan pada masyarakat Sunda dengan konsep tritangtu-nya, “tri tangtu di
buana” atau “pitutur tilu” di mana tata wayah (waktu), wilayah (tempat), dan
lampah (laku) jadi salah satu turunannya. Dalam konteks laku, motivasi serta
urgensi atau kepentingan manusia memperlakukan alam juga dalam hal ini menjadi
batasan.
Contoh dalam masyarakat
Sunda bisa dilihat dari kegiatan sekadar memasuki kawasan pun memiliki konsep
laku, ketika memasuki kawasan sakral dan cenderung menjadikan alam (khususnya
satwa) hanya sekadar objek untuk kepuasan manusia. Sebut saja misalnya tradisi
rampogan di abad ke XVIII, tetapi dalam konteks tertentu tradisi “pembantaian”
macan tersebut erat kaitannya dengan kolonialisme yang perlu dikaji lebih
dalam. seperti leuweung gede atau kawasan larang pada masyarakat Baduy, hanya
laku kepentingan ziarah saja yang diperbolehkan. Maka ziarah dalam konteks ini
merupakan laku yang diperbolehkan, sebagai latar belakang tata lampah. Secara
khusus, ilmu atau pendekatan yang dapat digunakan untuk menentukan kategori,
klasifikasi, dan status suatu kawasan (larang/titipan, tutupan, dan garapan),
serta pengetahuan mengenai bagaimana masyarakat Sunda lama memperlakukan alam
dikenal dengan konsep “patanjala” atau konsep “gunung pangauban”.
Konsep ini merupakan
konsep “autentik/asli” masyarakat Sunda dalam memperlakukan, merespon,
memanfaatkan, dan menjaga alamnya. Konsep “patanjala” sendiri beberapa tahun
belakangan ini, sejak awal tahun 2000-an sedang terus disosialisasikan dan
dipraktikan oleh masyarakat di Jawa Barat di mana sosok tokoh bernama kang
Rahmat Leuweung berperan central, baik sebagai pendamping dan sekaligus
narasumber utamanya.
Sumber: Buku S A D A R K A W A S A N Kapan dan di Mana: Manusia Bebas, Berbatas, Hingga tak Punya Akses